-->

Kisah Haji Entong Gendut


Riwayat H.Entong Gendut
Condet mempunyai Kisah Sendiri, salah satunya kisah Haji Entong Gendut. Haji Entong Gendut adalah Alim Ulama sekaligus pendekar yang disegani di Condet. Menurut Ran Ramelan, Haji Entong Gendut marah atas kesewenang-wenangan Kompeni dalam memungut pajak atau blasting kepada rakyat Condet. 

Akhirnya, pada 5 April 1916 Haji Entong Gendut memimpin pemuda-pemuda Condet menyerbu sebuah Gedung bernama Villa Nova atau Groeneveld milik tuan tanah Belanda. Setelah berhasil memberi pelajaran kepada Kompeni, dimulailah babak heroik perlawanan masyarakat Condet pimpinan Haji Entong Gendut versus Kompeni. Menurut cerita, Haji Entong Gendut akhirnya tewas ditembak Kompeni lalu mayatnya dibuang ke laut


Gedung Villa Nova atau Groeneveld yang diserang oleh Haji Entong Gendut beserta pemuda Condet itu adalah gedung satu-satunya dan terbesar di daerah Condet ketika itu. Keberadaan gedung tersebut membawa ciri khas bagi daerah tersebut sehingga banyak masyarakat pada waktu itu memberi nama daerah tersebut dengan julukan sebagai Kampung Gedong. Dan penamaan ini masih bertahan hingga sekarang, terbukti dengan adanya kampung Gedong di wilayah Condet.Mengenai sejarah gedung Villa Nova atau Groeneveld yang menjadi asal mula terbentukya kampung Gedong memiliki kisahnya tersendiri. Gedung ini dibangun oleh Vincent Riemsdijk, anggota Dewan Hindia, sebagai perkebunan dan sekaligus peristirahatan. Setelah kematiannya, putranya Daniel van Riemsdijk, seorang petani andal, benar-benar mengurus perkebunan Tanjung Timur dan mengelolanya dengan baik. Pada waktu itu, 6.000 ekor sapi digembalakan di perkebunan ini, tempat yang sekarang berdiri gedung-gedung megah dan jalan raya dari Tanjung Timur ke Terminal Kampung Rambutan.



Di gedung ini pada 1749 pernah berlangsung pertemuan antara Gubernur Jenderal Von Imhoff dan Ratu Syarifah Fatimah, wali sultan Banten. Syarifah, wanita terdidik dan cerdas, pada 1720 menjadi istri Pangeran Mahkota Banten, Zainul Arifin. Ia sangat berpengaruh terhadap suaminya ketika menjadi sultan Banten (1733). Tapi, Syarifah sendiri meninggal dengan merana karena dibuang ke Pulau Edam di Kepulauan Seribu, akibat pemberontakan Kyai Tapa (1750). Ia ditangkap akibat ambisinya untuk mengangkat Syarif Abdullah, yang menikah dengan keponakannya, untuk dijadikan pangeran mahkota Kesultanan Banten.Gedung yang juga dikenal dengan Villa Nova itu telah beberapa kali berganti pemilik. Menurut Ran Ramelan tiap penggantian tuan tanah ini, diadakan peraturan baru yang memberatkan rakyat Condet. Terhadap tiap pemuda Condet yang telah menginjak dewasa dikeluarkan kompenian atau pajak kepala sebesar 25 sen (nilainya kira-kira 10 liter beras). Karena banyak petani yang tidak sanggup membayar blasting (pajak) yang sangat memberatkan itu, tuan tanah sering membawa petani yang tak sanggup membayar ke landraad (pengadilan). Dan tuan tanah di Condet sering mengeksploitasi masyarakat sehingga akibatnya banyak petani yang bangkrut, rumahnya dirusak, atau tak jarang yang dibakar. Penduduk yang belum membayar blasting hasil sawah dan kebunnya tidak boleh dipanen.


Tuan tanah pertama dari kawasan itu adalah Pieter van de Velde asal Amersfoort, yang pada pertengahan abad ke-18 berhasil memupuk kekayaan berkat berbagai kedudukannya yang selalu menguntungkan. Setelah peristiwa pemberontakan Cina pada tahun 1740, dia berhasil mengusai tanah – tanah Kapten Ni Hu-Kong, yang terletak di selatan Meester Cornelis yang sekarang dikenal sebagai Jatinegara sebelah timur sungai Ciliwung. Kemudian di tambah dengan tanah – tanah lainnya yang di belinya sekitar tahun 1750, maka terbentuklah Tanah Partikelir Tanjoeng Oost. Di situ ia membangun gedung tersebut selesai dibangun.Pemilik kedua adalah Adrian Jubels. Setelah ia meninggal pada tahun 1763, Tanah tanjung Oost dibeli oleh Jacobus Johannes Craan, yang terkenal dengan seleranya yang tinggi. Pemilik baru itu mendandani gedung peristirahatan dengan dekorasi berlanggam Lodewijk XV, ditambah dengan hiasan – hiasan yang bersuasana Cina. Sampai terbakar pada tahun 1985 sebagian dari ukiran – ukiran penghias gedung itu masih dapat disaksikan.Setelah Craan meninggal, Tanjoeng Oost dibeli oleh menantunya Willem Vincent Helvetius van Riemsdjik, putra Gubernur Jendral Jeremies van Riemsdjik (1775 – 1777). Sampai pecahnya Perang Dunia Kedua, gedung Groeneveld dikuasai turun- temurun oleh para ahli warisnya, keturunan Vincent Helvetius van Riemsdjik. Willem Vincent Helvetius sendiri sejak muda sudah menduduki jabatan yang menguntungkan, antara lain pada usia 17 tahun sudah menjabat sebagai administrator Pulau Onrust, jabatan yang menjadi incaran banyak orang, karena konon sangat “basah” banyak memberi kesempatan untuk memupuk kekayaan. Kedudukan ayahnya sebagai gubernur Jenderal dimanfaatkan dengan sangat baik, sehingga kekayaannya makin berkembang. Pada tahun sembilanpuluhan abad ke-18, tanah – tanah miliknya tersebar antara lain di Tanahabang, Cibinong, Cimanggis, Ciampea, Cibungbulan, Sadeng, dan dengan sendirinya Tandjoeng Oost atau Tanjung Timur.Tandjoeng Oost atau Tanjung Timur mengalami perkembangan yang sangat pesat pada waktu dikuasai oleh Daniel Cornelius Helvetius, yang berusaha menggalakkan pertanian dan peternakan. Setelah ia meninggal pada tahun 1860, Groeneveld menjadi milik putrinya yang bernama, Dina Cornelia, yang menikah dengan Tjalling Ament, asal Kota Dokkum, Belanda Utara. Ament melanjutkan usaha mertuanya, meningkatkan usaha pertanian dan peternakan. Pada pertengahan abad ke-19, di kawasan TanjungTimur dipelihara lebih dari 6000 ekor sapi. Produksi susunya sangat terkenal di Batavia. Sampai tahun 1942 Groeneveld turun – temurun dihuni keturunan Van Riemsdjik, dan kawasan itu sampai sekarang disebut Kampung Gedong.


Sampai sekarang suku Betawi merupakan salah satu suku yang berada di Indonesia, dan Betawi Condet hanyalah bagian terkecil yang tersisa dari keberadaan suku Betawi tersebut. Secara umum suku Betawi merupakan suku-bangsa yang terbentuk dari proses asimilasi antara penduduk pribumi dengan berbagai unsur dari luar yang bercampur dalam waktu yang lama. Lance Castle menggambarkan kondisi ini dengan istilah melting pot.Menurut Melalatoa, keberadaan suku Betawi berikut dengan Betawi Condetnya dapat dilihat dari pengakuannya dan budaya-budaya tertentu, misalnya bahasa, dialek, kesenian, pakaian, makanan, sistem keyakinan dan lain-lain. Selain itu adanya pandangan-pandangan yang dapat melahirkan identitas tertentu sebagai suatu kelompok yang disebut sebagai orang Betawi-Condet.

Post a Comment

0 Comments